Hukum Mencipratkan air kepada orang lain mungkin terlihat sepele, bahkan dianggap sebagai candaan di beberapa situasi. Namun, tindakan ini bisa berubah menjadi masalah hukum apabila dilakukan secara sengaja dan menyebabkan kerugian atau menyinggung perasaan orang yang terkena. Di Indonesia, hukum menilai perbuatan ini berdasarkan niat, dampak, serta konteks terjadinya peristiwa.
1. Konteks Sosial dan Budaya
Dalam banyak budaya di Indonesia, mencipratkan air bisa dianggap lucu atau bagian dari tradisi, seperti dalam permainan anak-anak atau ritual tertentu. Namun, hal ini bisa berubah menjadi persoalan jika:
-
Dilakukan kepada orang yang tidak setuju atau tidak mengenal pelaku.
-
Terjadi di ruang publik tanpa persetujuan.
-
Menyebabkan ketidaknyamanan, rasa malu, atau kerusakan barang milik korban.
Jika dilakukan tanpa persetujuan atau dalam suasana yang tidak tepat, mencipratkan air bisa dianggap sebagai bentuk pelecehan, penghinaan, atau tindakan tidak menyenangkan.
2. Perspektif Hukum Pidana: Masuknya ke dalam Perbuatan Tidak Menyenangkan
Menurut Pasal 335 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), seseorang yang melakukan perbuatan tidak menyenangkan dapat dikenai sanksi pidana:
“Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain dengan kekerasan, ancaman kekerasan atau dengan perbuatan yang tidak menyenangkan, supaya orang itu melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dihukum penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Jika seseorang mencipratkan air kepada orang lain dengan sengaja dan tanpa persetujuan, serta menyebabkan rasa malu, tersinggung, atau marah, maka bisa dikategorikan sebagai perbuatan tidak menyenangkan, dan pelaku bisa dituntut berdasarkan pasal ini.
3. Jika Menyebabkan Kerusakan atau Kerugian
Jika cipratan air menyebabkan kerusakan pada barang milik orang lain—seperti merusak pakaian, gadget, atau dokumen—pelaku juga bisa dikenai pasal terkait perusakan atau kelalaian:
-
Pasal 406 KUHP tentang perusakan barang milik orang lain.
-
Pasal 1365 KUHPerdata, yang menyebutkan bahwa:
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Dengan demikian, korban bisa menuntut ganti rugi secara perdata, meski prosesnya tentu lebih panjang dan biasanya dilakukan dalam kasus yang cukup serius.
4. Dalam Konteks Pelecehan atau Kekerasan Ringan
Tindakan mencipratkan air ke wajah atau tubuh orang rajazeus link alternatif lain juga dapat dianggap sebagai bentuk pelecehan atau bahkan penganiayaan ringan, tergantung konteks dan dampaknya. Misalnya, jika dilakukan dengan maksud merendahkan martabat atau menghina, terutama di ruang publik, korban bisa menuntut berdasarkan:
-
Pasal 352 KUHP tentang penganiayaan ringan.
-
Pasal 310 KUHP tentang penghinaan.
Kasus seperti ini sering terjadi di sekolah, tempat kerja, atau media sosial—dan jika disertai dengan rekaman video, bisa memperkuat bukti adanya pelanggaran terhadap hak privasi dan rasa aman seseorang.
5. Aspek Etika dan Moral
Terlepas dari aspek hukum, tindakan mencipratkan air juga dinilai secara etis. Dalam ajaran agama dan norma sosial di Indonesia, mengganggu kenyamanan atau mempermalukan orang lain adalah hal yang dilarang. Dalam Islam, misalnya, Nabi Muhammad SAW mengajarkan untuk menghormati sesama dan tidak membuat orang lain merasa terhina atau dirugikan, bahkan dalam hal kecil sekalipun.
BACA JUGA: Hukum Membunuh Orang: Konsekuensi Hukum dan Pandangan Etika