Agustus 4, 2025

Ppkhijabar : Materi Kuliah Program Studi Hukum

Informasi Terbaru Program Studi Hukum dan Prospek

Riba dalam hukum Islam
2025-07-09 | admin3

Pandangan Syariat Islam terhadap Hukum Riba dalam Transaksi Keuangan

Riba merupakan salah satu praktik yang secara tegas dilarang dalam ajaran Islam. Istilah riba berasal dari bahasa Arab “ربا” yang berarti tambahan atau pertumbuhan. Dalam konteks muamalah, riba merujuk pada penambahan yang ditetapkan di awal transaksi, baik dalam bentuk pinjaman uang maupun jual beli, yang memberikan keuntungan sepihak kepada salah satu pihak tanpa adanya usaha yang sepadan. Pandangan syariat terhadap riba sangat tegas, tidak hanya karena dianggap merugikan pihak lain, tetapi juga karena bertentangan dengan prinsip keadilan dan keberkahan dalam perdagangan.

Al-Qur’an secara eksplisit menyebutkan keharaman riba dalam beberapa ayat. Salah satu yang paling sering dikutip adalah Surah Al-Baqarah ayat 275, yang berbunyi:
“Orang-orang yang makan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena tekanan penyakit gila. … Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”

Ayat ini menjadi dasar bahwa Islam membedakan antara transaksi jual beli yang sah dan riba yang diharamkan. Dalam jual beli, ada pertukaran nilai yang seimbang dan ada risiko usaha. Sedangkan dalam riba, seseorang memperoleh keuntungan tanpa menanggung risiko, bahkan di atas penderitaan atau kebutuhan pihak lain.

Riba dalam hukum Islam dibagi menjadi dua jenis utama:
1. Riba Fadhl, yaitu riba dalam pertukaran barang sejenis yang tidak seimbang nilainya, misalnya menukar 1 kg gandum dengan 1,2 kg gandum.
2. Riba Nasi’ah, yaitu riba karena penundaan waktu, contohnya ketika seseorang meminjam uang Rp10 juta dan harus mengembalikannya menjadi Rp11 juta setelah satu bulan. Kelebihan Rp1 juta inilah yang disebut riba karena tidak ada timbal balik usaha, hanya berdasarkan penambahan waktu.

Dalam konteks ekonomi modern, riba sering dikaitkan dengan bunga (interest) yang diterapkan oleh lembaga keuangan konvensional seperti bank. Mayoritas ulama sepakat bahwa bunga bank termasuk dalam kategori riba nasi’ah karena merupakan keuntungan tetap yang diperoleh tanpa proses perdagangan atau kerja. Oleh karena itu, sistem perbankan syariah hadir sebagai alternatif yang bebas dari riba dengan prinsip bagi hasil (mudharabah), sewa (ijarah), dan jual beli (murabahah) yang dilakukan secara transparan dan adil.

Riba tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga dapat menyebabkan kerusakan sistemik dalam ekonomi masyarakat. Dalam sistem ribawi, orang kaya bisa semakin kaya karena mendapatkan bunga dari simpanan atau pinjaman, sementara yang miskin makin terhimpit karena slot jepang harus membayar lebih dari pokok pinjaman. Hal ini bertentangan dengan prinsip Islam yang mendorong keadilan sosial, pemerataan kekayaan, dan tolong-menolong dalam kebaikan.

Ulama dari empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) sepakat bahwa riba hukumnya haram secara mutlak, baik sedikit maupun banyak, baik dalam bentuk uang, makanan pokok, atau bentuk lain yang sejenis. Dalam hukum fiqih, riba tidak bisa dilegalkan atas dasar kesepakatan kedua belah pihak. Artinya, walau seseorang menerima bunga dengan rela hati, hal itu tidak membuat transaksi tersebut menjadi halal dalam pandangan syariah.

Dampak spiritual dari praktik riba juga sangat besar. Dalam hadis riwayat Muslim disebutkan:
“Satu dirham riba yang dimakan oleh seseorang, sedangkan dia tahu (itu riba), maka dosanya lebih besar daripada tiga puluh enam kali zina.”
Hadis ini menunjukkan betapa besar murka Allah terhadap pelaku riba karena riba merusak tatanan ekonomi dan kemanusiaan.

Namun, dalam kondisi darurat atau ketidaktahuan, sebagian ulama membolehkan adanya keringanan dengan syarat-syarat tertentu, selama tidak bertentangan dengan maqashid syariah (tujuan utama syariat). Misalnya, jika seseorang terpaksa meminjam uang dari bank konvensional karena tidak ada alternatif lain, maka keadaannya dinilai sesuai prinsip darurat yang mengubah keharaman menjadi boleh, tapi tetap harus diusahakan mencari jalan keluar yang sesuai syariat.

Sebagai umat Islam yang ingin menjaga keberkahan dalam harta dan kehidupan, menjauhi riba merupakan bentuk ketaatan yang besar. Selain menjaga transaksi bebas riba, dianjurkan pula untuk mendukung sistem ekonomi yang lebih adil dan tidak eksploitatif, seperti koperasi syariah, bank syariah, atau platform pembiayaan berbasis qardhul hasan (pinjaman tanpa bunga). Hal ini tidak hanya menumbuhkan ekonomi umat, tapi juga menumbuhkan solidaritas dan kepercayaan di antara sesama.

Kesimpulannya, riba dalam pandangan Islam adalah praktik yang dilarang keras karena menimbulkan ketidakadilan, eksploitasi, dan kerusakan dalam sistem sosial. Syariat Islam mengajarkan agar umat menjauhi riba dan memilih jalur ekonomi yang jujur, adil, dan mengandung keberkahan. Dengan memahami hukum riba secara mendalam dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak hanya menjaga harta, tetapi juga menjaga integritas dan ketaatan kita terhadap ajaran agama.

BACA JUGA: Menyelisik Sejarah Adagium Lebih Baik Membebaskan 1000 Orang Bersalah Daripada Menghukum 1 Orang Tidak Bersalah

Share: Facebook Twitter Linkedin
HUKUM BERZINAH
2025-06-16 | admin3

Hukum Berzinah Menurut Agama Islam

Dalam agama Islam, berzinah adalah salah satu dosa besar yang sangat dilarang dan mendapat ancaman keras dari Allah SWT. Perzinahan berarti melakukan hubungan seksual di luar ikatan pernikahan yang sah, dan perbuatan ini sangat merusak moral serta tatanan sosial umat manusia. Oleh karena itu, Islam menetapkan hukum yang tegas dan jelas terkait dengan perzinahan agar umatnya menjaga kesucian dan kehormatan diri.

Al-Qur’an secara tegas mengharamkan zina dan bahkan melarang mendekati perbuatan tersebut. Dalam Surah Al-Isra ayat 32, Allah berfirman, “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” Larangan ini menegaskan bahwa umat Islam tidak hanya harus menghindari perzinahan secara langsung, tetapi juga segala sesuatu yang dapat menuntun kepada dosa tersebut.

Hukum berzinah dalam Islam sangat jelas, terutama bagi yang sudah menikah maupun yang belum. Bagi yang belum menikah dan berzinah, hukumannya adalah cambukan sebanyak 100 kali, sebagaimana ditegaskan dalam Surah An-Nur ayat 2: “Perempuan dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.” Namun, jika pelaku zina sudah menikah, hukumannya jauh lebih berat, yakni rajam sampai mati, sebagaimana ditegaskan dalam hadis shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.

Penerapan hukuman ini dalam kehidupan nyata slot depo 10k bertujuan untuk menjaga kesucian keluarga dan masyarakat dari kerusakan moral yang ditimbulkan oleh perzinahan. Islam sangat menekankan pentingnya menjaga kehormatan diri dan keluarga serta memelihara keturunan yang sah.

Namun, untuk menerapkan hukuman tersebut, Islam menetapkan syarat-syarat yang sangat ketat. Bukti yang diperlukan harus sangat jelas dan pasti, seperti pengakuan dari pelaku zina sendiri sebanyak empat kali atau adanya saksi empat orang yang menyaksikan langsung perbuatan tersebut. Hal ini untuk menghindari kesalahan dan memastikan keadilan bagi semua pihak.

Selain hukuman dunia, pelaku zina juga akan menghadapi siksaan yang berat di akhirat. Dosa besar ini membawa dampak negatif tidak hanya pada diri pelaku, tetapi juga pada masyarakat luas. Islam mengajarkan agar setiap individu menjaga diri dari godaan dan berusaha hidup sesuai dengan aturan Allah SWT agar terhindar dari dosa besar seperti zina.

Selain itu, Islam memberikan solusi pencegahan agar umatnya tidak terjerumus ke dalam perzinahan, seperti menikah bagi yang mampu, menjauhi pergaulan bebas, dan meningkatkan kesadaran moral serta keimanan. Dengan cara ini, diharapkan terjaga keharmonisan keluarga dan kehidupan sosial yang sehat.

Kesimpulannya, hukum berzinah dalam Islam adalah haram dan mendapat hukuman yang berat baik di dunia maupun di akhirat. Larangan ini bertujuan untuk menjaga kesucian, kehormatan, dan tatanan sosial umat manusia. Oleh karena itu, setiap Muslim dianjurkan untuk menjauhi perzinahan dan menjaga diri agar tetap berada di jalan yang diridhai Allah SWT.

BACA JUGA: Pengertian Hukum Menurut Para Ahli: Memahami Esensi dan Fungsinya dalam Masyarakat

Share: Facebook Twitter Linkedin
hukum islam
2025-05-01 | admin3

5 Hukum Syariat Islam yang Wajib Diketahui Maknanya

Syariat Islam adalah seperangkat aturan dan hukum yang berasal dari wahyu Tuhan yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui Al-Qur’an dan Hadis. Hukum-hukum ini bertujuan untuk mengatur kehidupan umat Islam agar berjalan sesuai dengan kehendak Allah SWT. Syariat Islam tidak hanya mencakup aspek ibadah, tetapi juga mencakup seluruh aspek kehidupan, baik dalam hubungan antar manusia maupun hubungan dengan Tuhan. Dalam artikel ini, kita akan membahas lima hukum syariat Islam yang wajib diketahui maknanya oleh setiap umat Islam.

1. Sholat (Salat)

Makna: Sholat adalah ibadah wajib yang dilakukan lima kali sehari sebagai bentuk penghambaan dan komunikasi langsung antara hamba dengan Tuhan. Sholat merupakan tiang agama dan salah satu rukun Islam yang paling penting. Dalam kehidupan seorang Muslim, sholat memiliki peran yang sangat vital, baik untuk mendekatkan diri kepada Allah maupun untuk menjaga kedamaian batin dan mental.

Hukum: Sholat adalah ibadah yang wajib dilakukan oleh setiap Muslim yang sudah baligh dan berakal. Setiap Muslim harus melaksanakan sholat pada waktunya, sesuai dengan tata cara yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Tidak ada alasan yang sah untuk meninggalkan sholat, kecuali dalam keadaan darurat atau ketidakmampuan fisik.

Dalil: “Sesungguhnya sholat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa: 103)

2. Puasa (Sawm)

Makna: Puasa adalah ibadah yang dilakukan dengan menahan diri dari makan, minum, dan segala hal yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari, selama bulan Ramadan. Puasa bukan hanya untuk menahan hawa nafsu, tetapi juga sebagai sarana untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT.

Hukum: Puasa adalah kewajiban bagi setiap Muslim yang telah baligh, sehat, dan tidak dalam keadaan tertentu yang membolehkan untuk tidak berpuasa (seperti sakit, hamil, atau menyusui). Puasa merupakan rukun Islam yang dilaksanakan pada bulan Ramadan, namun ada juga puasa sunnah yang dianjurkan untuk dilakukan pada waktu-waktu tertentu.

Dalil: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)

3. Zakat (Zakat al-Mal)

Makna: Zakat adalah kewajiban bagi setiap Muslim yang mampu untuk memberikan sebagian hartanya kepada orang-orang yang membutuhkan, seperti fakir, miskin, dan yang berhak menerima zakat lainnya. Zakat bertujuan untuk membersihkan harta dan menolong sesama, serta mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagi rezeki.

Hukum: Zakat adalah kewajiban bagi Muslim https://xicohmexicano.com/ yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti memiliki harta yang mencapai nisab (batas minimum yang wajib dizakati) dan sudah dimiliki selama satu tahun. Zakat dapat diberikan dalam bentuk uang, makanan, atau barang yang dimiliki.

Dalil: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka.” (QS. At-Tawbah: 103)

4. Haji (Hajj)

Makna: Haji adalah ibadah yang wajib dilaksanakan oleh Muslim yang mampu (secara fisik, mental, dan finansial) untuk menunaikan rukun Islam kelima. Haji dilaksanakan di Mekkah pada bulan Zulhijah dan merupakan salah satu kewajiban yang sangat agung bagi umat Islam.

Hukum: Haji wajib bagi setiap Muslim yang mampu secara fisik dan finansial untuk menunaikannya. Ibadah haji ini hanya wajib dilakukan sekali seumur hidup, bagi mereka yang telah memenuhi syarat dan rukun haji.

Dalil: “Dan haji itu adalah kewajiban bagi manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imran: 97)

5. Larangan Membunuh Tanpa Hak (Qatl)

Makna: Dalam Islam, membunuh seseorang tanpa hak adalah dosa besar. Hak hidup adalah hak dasar yang diberikan oleh Allah kepada setiap umat manusia. Islam melarang keras tindakan kekerasan yang mengarah pada pembunuhan, kecuali dalam kasus-kasus tertentu yang dibenarkan oleh syariat, seperti dalam pembelaan diri atau hukuman bagi pelaku kriminal yang berat.

Hukum: Membunuh tanpa hak adalah haram dan merupakan dosa besar dalam Islam. Hukum ini berlaku tidak hanya dalam konteks individu, tetapi juga dalam konteks perang yang adil, di mana nyawa manusia hanya bisa diambil dengan alasan yang sah menurut syariat.

Dalil: “Barang siapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka jahanam, kekal di dalamnya, dan Allah murka kepadanya serta mengutuknya dan menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. An-Nisa: 93)

BACA JUGA: Hukum Mencipratkan Air ke Orang: Antara Candaan dan Pelanggaran

Share: Facebook Twitter Linkedin
Hukum Mencipratkan air
2025-04-30 | admin3

Hukum Mencipratkan Air ke Orang: Antara Candaan dan Pelanggaran

Hukum Mencipratkan air kepada orang lain mungkin terlihat sepele, bahkan dianggap sebagai candaan di beberapa situasi. Namun, tindakan ini bisa berubah menjadi masalah hukum apabila dilakukan secara sengaja dan menyebabkan kerugian atau menyinggung perasaan orang yang terkena. Di Indonesia, hukum menilai perbuatan ini berdasarkan niat, dampak, serta konteks terjadinya peristiwa.

1. Konteks Sosial dan Budaya

Dalam banyak budaya di Indonesia, mencipratkan air bisa dianggap lucu atau bagian dari tradisi, seperti dalam permainan anak-anak atau ritual tertentu. Namun, hal ini bisa berubah menjadi persoalan jika:

  • Dilakukan kepada orang yang tidak setuju atau tidak mengenal pelaku.

  • Terjadi di ruang publik tanpa persetujuan.

  • Menyebabkan ketidaknyamanan, rasa malu, atau kerusakan barang milik korban.

Jika dilakukan tanpa persetujuan atau dalam suasana yang tidak tepat, mencipratkan air bisa dianggap sebagai bentuk pelecehan, penghinaan, atau tindakan tidak menyenangkan.

2. Perspektif Hukum Pidana: Masuknya ke dalam Perbuatan Tidak Menyenangkan

Menurut Pasal 335 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), seseorang yang melakukan perbuatan tidak menyenangkan dapat dikenai sanksi pidana:

“Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain dengan kekerasan, ancaman kekerasan atau dengan perbuatan yang tidak menyenangkan, supaya orang itu melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dihukum penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

Jika seseorang mencipratkan air kepada orang lain dengan sengaja dan tanpa persetujuan, serta menyebabkan rasa malu, tersinggung, atau marah, maka bisa dikategorikan sebagai perbuatan tidak menyenangkan, dan pelaku bisa dituntut berdasarkan pasal ini.

3. Jika Menyebabkan Kerusakan atau Kerugian

Jika cipratan air menyebabkan kerusakan pada barang milik orang lain—seperti merusak pakaian, gadget, atau dokumen—pelaku juga bisa dikenai pasal terkait perusakan atau kelalaian:

  • Pasal 406 KUHP tentang perusakan barang milik orang lain.

  • Pasal 1365 KUHPerdata, yang menyebutkan bahwa:

    “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”

Dengan demikian, korban bisa menuntut ganti rugi secara perdata, meski prosesnya tentu lebih panjang dan biasanya dilakukan dalam kasus yang cukup serius.

4. Dalam Konteks Pelecehan atau Kekerasan Ringan

Tindakan mencipratkan air ke wajah atau tubuh orang rajazeus link alternatif lain juga dapat dianggap sebagai bentuk pelecehan atau bahkan penganiayaan ringan, tergantung konteks dan dampaknya. Misalnya, jika dilakukan dengan maksud merendahkan martabat atau menghina, terutama di ruang publik, korban bisa menuntut berdasarkan:

  • Pasal 352 KUHP tentang penganiayaan ringan.

  • Pasal 310 KUHP tentang penghinaan.

Kasus seperti ini sering terjadi di sekolah, tempat kerja, atau media sosial—dan jika disertai dengan rekaman video, bisa memperkuat bukti adanya pelanggaran terhadap hak privasi dan rasa aman seseorang.

5. Aspek Etika dan Moral

Terlepas dari aspek hukum, tindakan mencipratkan air juga dinilai secara etis. Dalam ajaran agama dan norma sosial di Indonesia, mengganggu kenyamanan atau mempermalukan orang lain adalah hal yang dilarang. Dalam Islam, misalnya, Nabi Muhammad SAW mengajarkan untuk menghormati sesama dan tidak membuat orang lain merasa terhina atau dirugikan, bahkan dalam hal kecil sekalipun.

BACA JUGA: Hukum Membunuh Orang: Konsekuensi Hukum dan Pandangan Etika

Share: Facebook Twitter Linkedin
2025-03-18 | admin3

Hukum Menghalimi yang Belum Menikah: Perspektif Agama dan Hukum

Pendahuluan

Perbuatan menghalimi atau perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang belum menikah, baik itu berhubungan dengan tindakan yang tidak sesuai dengan norma agama atau hukum, sering kali menjadi topik yang kontroversial di banyak masyarakat. Dalam banyak kebudayaan, terutama yang menganut nilai-nilai agama tertentu, tindakan seperti ini dianggap sebagai hal yang melanggar moralitas, hukum, atau agama. Oleh karena itu, penting https://www.murrietaregionalanimalhospital.com/ untuk memahami perspektif hukum dan agama mengenai hal ini, serta konsekuensi yang mungkin timbul akibatnya. Artikel ini akan membahas mengenai hukum menghalimi yang belum menikah, baik dalam perspektif hukum positif maupun hukum agama.

1. Definisi Menghalimi

Secara umum, “menghalimi” bisa diartikan sebagai perbuatan yang melanggar norma agama, hukum, atau aturan sosial. Istilah ini bisa merujuk pada perbuatan seksual di luar ikatan pernikahan atau hubungan yang dianggap  tidak sah menurut pandangan agama atau hukum tertentu.

Dalam konteks pernikahan, “menghalimi” biasanya merujuk pada hubungan intim atau tindakan yang dilakukan oleh pasangan yang belum menikah, seperti zina atau hubungan seksual di luar pernikahan. Hal ini biasanya dianggap melanggar ajaran agama dan hukum negara yang berlaku.

2. Hukum Menghalimi dalam Perspektif Agama

Berdasarkan ajaran agama, terutama dalam agama Islam, hubungan seksual yang dilakukan di luar pernikahan atau tanpa ikatan yang sah dianggap sebagai perbuatan dosa besar. Dalam Al-Qur’an dan Hadis, zina dianggap sebagai tindakan yang sangat dilarang dan memiliki konsekuensi moral yang berat.

  • Islam: Dalam agama Islam, zina (hubungan seksual di luar pernikahan) jelas dilarang. Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Isra’ (17:32), “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk.” Dalam hukum pidana Islam atau yang dikenal dengan hukum hudud, pelaku zina yang belum menikah dapat dikenakan hukuman cambuk, sedangkan yang sudah menikah bisa dikenakan hukuman rajam (lempar batu hingga mati). Meskipun hukuman hudud ini tidak selalu diterapkan di negara-negara yang menganut sistem hukum Islam, perbuatan menghalimi tetap dianggap sebagai dosa besar.

  • Kristen: Dalam agama Kristen, hubungan seksual di luar pernikahan juga dianggap dosa. Dalam Injil, ada banyak ayat yang menegaskan larangan hubungan seksual di luar pernikahan. Salah satunya terdapat dalam Kitab I Korintus 6:18, yang menyatakan, “Jauhilah percabulan! Setiap dosa lain yang dilakukan manusia adalah di luar tubuhnya, tetapi siapa yang berbuat cabul, ia berdosa terhadap tubuhnya sendiri.”

  • Hindu dan Buddha: Agama Hindu dan Buddha juga memiliki pandangan yang mirip terkait perilaku seksual. Dalam agama Hindu, meskipun tidak ada hukum yang secara eksplisit melarang hubungan seksual di luar pernikahan, namun ajaran moral yang tinggi mengutamakan kesucian dan menjaga hubungan yang sah. Dalam ajaran Buddha, perilaku yang tidak sesuai dengan moralitas, termasuk zina, dapat menghalangi pencapaian kebahagiaan sejati dan nirwana.

3. Hukum Menghalimi dalam Perspektif Hukum Positif

Selain agama, hukum positif yang berlaku di negara tertentu juga mengatur perbuatan menghalimi, terutama yang terkait dengan hubungan seksual di luar pernikahan. Di banyak negara, tindakan seperti zina atau hubungan seksual tanpa pernikahan dianggap sebagai pelanggaran hukum, meskipun pengaturannya bisa bervariasi antar negara.

  • Indonesia: Dalam sistem hukum Indonesia, perbuatan menghalimi, terutama yang berkaitan dengan hubungan seksual di luar nikah, sebenarnya masih diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), meskipun hukuman untuk perbuatan ini tidak diterapkan dengan ketat di semua kasus. Pasal 284 KUHP mengatur tentang perzinahan, yang dapat dikenakan pidana bagi pasangan yang terlibat dalam hubungan seksual di luar nikah. Namun, pada prakteknya, hukuman tersebut jarang diberlakukan kecuali ada laporan dari pihak yang berkepentingan.

Selain itu, Indonesia juga memiliki hukum yang mengatur perbuatan ini dalam sistem hukum syariah yang diterapkan di beberapa provinsi, seperti Aceh. Di Aceh, hubungan seksual di luar nikah dapat dikenakan hukuman sesuai dengan qanun (peraturan daerah) yang mengatur tentang syariat Islam. Hukum pidana Islam berlaku lebih ketat di wilayah ini, dan dapat dikenakan hukuman cambuk atau hukuman lainnya bagi pelaku zina.

  • Hukum Internasional: Beberapa negara, terutama yang memiliki sistem hukum sekuler, tidak mengkriminalisasi hubungan seksual di luar pernikahan, kecuali jika melibatkan pemaksaan atau kekerasan (seperti dalam kasus perkosaan). Sebaliknya, di negara-negara dengan hukum berbasis agama, seperti Arab Saudi atau Pakistan, zina dan hubungan seksual di luar nikah bisa dikenakan hukuman berat.

4. Konsekuensi Hukum dan Sosial Menghalimi

Menghalimi atau terlibat dalam hubungan seksual di luar pernikahan dapat menimbulkan sejumlah konsekuensi, baik dalam perspektif hukum, agama, maupun sosial.

  • Dari Perspektif Hukum: Seperti yang telah disebutkan, tergantung pada negara dan hukum yang berlaku, perbuatan menghalimi bisa dikenakan sanksi hukum. Di beberapa negara dengan sistem hukum berbasis agama, pelaku zina bisa dikenakan hukuman fisik atau penjara. Di negara-negara dengan sistem hukum sekuler, pengadilan mungkin lebih fokus pada pelanggaran hukum terkait kekerasan atau eksploitasi seksual.

  • Dari Perspektif Agama: Menghalimi dalam pandangan agama memiliki dampak spiritual yang sangat besar. Dalam banyak agama, perbuatan ini dianggap sebagai dosa besar dan dapat mempengaruhi kehidupan spiritual seseorang. Selain itu, di banyak agama, dosa ini mempengaruhi status moral dan kesejahteraan individu dalam kehidupan setelah mati.

  • Dari Perspektif Sosial: Dalam masyarakat yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan agama, perbuatan menghalimi dapat menyebabkan stigmatisasi sosial. Individu yang terlibat dalam hubungan seksual di luar pernikahan mungkin mengalami pengucilan sosial, kritik, atau bahkan penghukuman dari masyarakat sekitar. Hal ini bisa berdampak negatif pada kehidupan pribadi dan sosial mereka.

BACA SELENGKAPNYA: Uang Baru Rp 75 Ribu Dijual Jutaan, Bagaimana Hukumnya?

Share: Facebook Twitter Linkedin