Semenjak menyelesaikan studi magister di Inggris dan kembali ke Indonesia pada akhir tahun lalu, banyak rekan dan kenalan yang menagih cerita tentang pengalaman hidup di Inggris dan apa saja yang saya dapatkan selama satu tahun belajar di University of Birmingham.
Jika boleh jujur, saya merasa kebingungan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Pasalnya, saya merasa joker123 gaming kehidupan saya di Inggris tidak luar biasa dan tidak penuh perjuangan seperti teman-teman lain yang sama-sama belajar di luar negeri. Kehidupan saya bisa dibilang datar atau biasa-biasa saja, setiap harinya hanya melakukan perjalanan dari rumah ke kampus, menghabiskan waktu di perpustakaan dan kadang kali mengunjungi pusat kota untuk berbelanja. Jadi rasanya tidak menarik untuk diceritakan dan tidak akan sesuai ekspektasi calon pendengar kisah saya.
Namun, rekan-rekan saya bersikukuh dan memaksa agar saya tetap bercerita tentang apa saja yang saya alami meskipun menurut saya itu tidak menarik. Mereka berdalih bahwa tidak mungkin hidup setahun di luar negeri dan tidak mendapatkan apa-apa. Akhirnya, saya pun memutar ingatan dan mencoba mencomot apa-apa saja yang bisa didramatisasi agar jadi cerita yang mungkin tidak akan membuat mereka bosan.
Baca Juga : Mengenal Dunia Hukum di Rusia: Sistem, Struktur, dan Dinamika Perkembangan Hukum Modern
Sistem Pendidikan
Salah satu hal yang pertama muncul di kepala saya adalah saya ingin bercerita tentang sistem pendidikan di kampus saya. Karena buat apa saya sekolah jauh-jauh hingga melintasi separuh dunia jika tidak ada yang bisa ambil dari konsep pendidikan di Negeri Ratu Elizabeth itu.
Untuk mengawali kisah, saya selalu bilang bahwa saya tidak mendapatkan ilmu apa-apa di bangku kuliah. Semua yang saya pelajari di kelas bisa ditemukan dengan mudah di kelas-kelas online gratis yang banyak tersebar di Internet. Bahkan, jika sekarang saya ditanyai hal-hal yang berkaitan dengan bidang keilmuan program magister saya, kemungkinan besar jawaban saya cuma geleng-geleng kepala.
Setahun belajar di Inggris membuat mata saya terbuka dan sadar bahwa saya masih jauh dari kata pintar. Bertemu banyak orang dari berbagai negara dengan kapasitas keilmuan dan kemampuan yang beragam, membuat saya berkaca bahwa saya tidak ada apa-apanya. Seorang saya yang mungkin dulu sempat jumawa di Indonesia ternyata hanya seperti butiran debu di tengah-tengah pelajar internasional.
Meski demikian, hal tersebut tidak membuat saya rendah diri. Iklim akademik yang kondusif dan sikap akademisi yang terbuka membuat saya tidak merasa terintimidasi, malah membuat saya terpacu untuk belajar lebih banyak. Ironisnya, semakin saya banyak belajar, semakin saya merasa tidak tahu apa-apa, dan saya merasa hal ini sangat baik bagi perkembangan saya di masa depan.
Salah satu bentuk atmosfer pendidikan yang kondusif di kampus saya bisa dilihat dan dirasakan dari posisi dosen dan mahasiswa yang sejajar. Egaliter. Serta para akademisi yang tidak direpotkan dengan hal-hal keformalan. Dosen maupun mahasiswa boleh ke kelas dengan menggunakan kaos dan celana training, atau pakaian apapun yang mereka inginkan selama tidak bersifat offensive.