Agustus 4, 2025

Ppkhijabar : Materi Kuliah Program Studi Hukum

Informasi Terbaru Program Studi Hukum dan Prospek

Pandangan Syariat Islam terhadap Hukum Riba dalam Transaksi Keuangan

Riba merupakan salah satu praktik yang secara tegas dilarang dalam ajaran Islam. Istilah riba berasal dari bahasa Arab “ربا” yang berarti tambahan atau pertumbuhan. Dalam konteks muamalah, riba merujuk pada penambahan yang ditetapkan di awal transaksi, baik dalam bentuk pinjaman uang maupun jual beli, yang memberikan keuntungan sepihak kepada salah satu pihak tanpa adanya usaha yang sepadan. Pandangan syariat terhadap riba sangat tegas, tidak hanya karena dianggap merugikan pihak lain, tetapi juga karena bertentangan dengan prinsip keadilan dan keberkahan dalam perdagangan.

Al-Qur’an secara eksplisit menyebutkan keharaman riba dalam beberapa ayat. Salah satu yang paling sering dikutip adalah Surah Al-Baqarah ayat 275, yang berbunyi:
“Orang-orang yang makan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena tekanan penyakit gila. … Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”

Ayat ini menjadi dasar bahwa Islam membedakan antara transaksi jual beli yang sah dan riba yang diharamkan. Dalam jual beli, ada pertukaran nilai yang seimbang dan ada risiko usaha. Sedangkan dalam riba, seseorang memperoleh keuntungan tanpa menanggung risiko, bahkan di atas penderitaan atau kebutuhan pihak lain.

Riba dalam hukum Islam dibagi menjadi dua jenis utama:
1. Riba Fadhl, yaitu riba dalam pertukaran barang sejenis yang tidak seimbang nilainya, misalnya menukar 1 kg gandum dengan 1,2 kg gandum.
2. Riba Nasi’ah, yaitu riba karena penundaan waktu, contohnya ketika seseorang meminjam uang Rp10 juta dan harus mengembalikannya menjadi Rp11 juta setelah satu bulan. Kelebihan Rp1 juta inilah yang disebut riba karena tidak ada timbal balik usaha, hanya berdasarkan penambahan waktu.

Dalam konteks ekonomi modern, riba sering dikaitkan dengan bunga (interest) yang diterapkan oleh lembaga keuangan konvensional seperti bank. Mayoritas ulama sepakat bahwa bunga bank termasuk dalam kategori riba nasi’ah karena merupakan keuntungan tetap yang diperoleh tanpa proses perdagangan atau kerja. Oleh karena itu, sistem perbankan syariah hadir sebagai alternatif yang bebas dari riba dengan prinsip bagi hasil (mudharabah), sewa (ijarah), dan jual beli (murabahah) yang dilakukan secara transparan dan adil.

Riba tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga dapat menyebabkan kerusakan sistemik dalam ekonomi masyarakat. Dalam sistem ribawi, orang kaya bisa semakin kaya karena mendapatkan bunga dari simpanan atau pinjaman, sementara yang miskin makin terhimpit karena slot jepang harus membayar lebih dari pokok pinjaman. Hal ini bertentangan dengan prinsip Islam yang mendorong keadilan sosial, pemerataan kekayaan, dan tolong-menolong dalam kebaikan.

Ulama dari empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) sepakat bahwa riba hukumnya haram secara mutlak, baik sedikit maupun banyak, baik dalam bentuk uang, makanan pokok, atau bentuk lain yang sejenis. Dalam hukum fiqih, riba tidak bisa dilegalkan atas dasar kesepakatan kedua belah pihak. Artinya, walau seseorang menerima bunga dengan rela hati, hal itu tidak membuat transaksi tersebut menjadi halal dalam pandangan syariah.

Dampak spiritual dari praktik riba juga sangat besar. Dalam hadis riwayat Muslim disebutkan:
“Satu dirham riba yang dimakan oleh seseorang, sedangkan dia tahu (itu riba), maka dosanya lebih besar daripada tiga puluh enam kali zina.”
Hadis ini menunjukkan betapa besar murka Allah terhadap pelaku riba karena riba merusak tatanan ekonomi dan kemanusiaan.

Namun, dalam kondisi darurat atau ketidaktahuan, sebagian ulama membolehkan adanya keringanan dengan syarat-syarat tertentu, selama tidak bertentangan dengan maqashid syariah (tujuan utama syariat). Misalnya, jika seseorang terpaksa meminjam uang dari bank konvensional karena tidak ada alternatif lain, maka keadaannya dinilai sesuai prinsip darurat yang mengubah keharaman menjadi boleh, tapi tetap harus diusahakan mencari jalan keluar yang sesuai syariat.

Sebagai umat Islam yang ingin menjaga keberkahan dalam harta dan kehidupan, menjauhi riba merupakan bentuk ketaatan yang besar. Selain menjaga transaksi bebas riba, dianjurkan pula untuk mendukung sistem ekonomi yang lebih adil dan tidak eksploitatif, seperti koperasi syariah, bank syariah, atau platform pembiayaan berbasis qardhul hasan (pinjaman tanpa bunga). Hal ini tidak hanya menumbuhkan ekonomi umat, tapi juga menumbuhkan solidaritas dan kepercayaan di antara sesama.

Kesimpulannya, riba dalam pandangan Islam adalah praktik yang dilarang keras karena menimbulkan ketidakadilan, eksploitasi, dan kerusakan dalam sistem sosial. Syariat Islam mengajarkan agar umat menjauhi riba dan memilih jalur ekonomi yang jujur, adil, dan mengandung keberkahan. Dengan memahami hukum riba secara mendalam dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak hanya menjaga harta, tetapi juga menjaga integritas dan ketaatan kita terhadap ajaran agama.

BACA JUGA: Menyelisik Sejarah Adagium Lebih Baik Membebaskan 1000 Orang Bersalah Daripada Menghukum 1 Orang Tidak Bersalah

Share: Facebook Twitter Linkedin

Comments are closed.