
Menyelisik Sejarah Adagium Lebih Baik Membebaskan 1000 Orang Bersalah Daripada Menghukum 1 Orang Tidak Bersalah
Hakim dan Nilai Keadilan: Membebaskan yang Diragukan, Menghukum yang Terbukti
Profesi hakim kerap disematkan sebagai profesi yang luhur, atau dalam istilah Latin disebut theaardvarkfl.com Nobile Officium. Gelar ini bukan tanpa alasan, mengingat hakim merupakan aktor utama dalam penegakan hukum dan keadilan. Dalam perkara pidana, nasib seorang terdakwa bisa bergantung pada satu ketukan palu hakim di akhir persidangan.
Dalam sistem peradilan pidana, kita mengenal adagium klasik: “Lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah.” Prinsip ini bukan sekadar ungkapan, melainkan filosofi mendalam yang mencerminkan tanggung jawab moral seorang hakim dalam menjaga hak asasi manusia dan keadilan substantif.
Seorang hakim tidak diwajibkan untuk selalu menghukum terdakwa yang hadir di persidangan. Sebaliknya, hakim dituntut untuk bersikap objektif dalam menilai bukti dan fakta hukum yang terungkap selama persidangan. Jika bukti yang diajukan tidak cukup kuat untuk menyatakan terdakwa bersalah, maka pilihan terbaik adalah membebaskan, bukan menghukum dengan ragu.
Asal-usul prinsip tersebut dapat ditelusuri ke pemikiran William Blackstone, seorang filsuf hukum asal Inggris, melalui karya monumental Commentaries on the Laws of England (1765–1769). Ia menyatakan, “Lebih baik sepuluh orang yang bersalah dibebaskan daripada satu orang yang tidak bersalah menderita.” Gagasan ini menggarisbawahi betapa mahalnya harga dari kesalahan dalam menjatuhkan vonis.
Namun, pemikiran ini bukanlah yang pertama. Sebelum Blackstone, Sir Matthew Hale dan John Fortescue telah mengungkapkan ide serupa. Fortescue dalam karyanya De Laudibus Legum Angliae sekitar tahun 1470 menulis bahwa “lebih baik dua puluh orang bersalah lolos daripada satu orang tak bersalah dihukum mati.” Bahkan lebih jauh ke belakang, Maimonides—filsuf Yahudi abad ke-12—mengatakan bahwa “lebih baik membebaskan seribu orang bersalah daripada menghukum mati satu orang tak bersalah.”
Filosofi ini menegaskan bahwa kesalahan sistem hukum bukan hanya mencederai satu individu, melainkan meruntuhkan kepercayaan publik terhadap keadilan itu sendiri.
Maka dari itu, dalam menjalankan tugasnya, seorang hakim harus benar-benar yakin sebelum menyatakan terdakwa bersalah (beyond reasonable doubt). Jika terdapat keraguan dalam pembuktian, maka membebaskan terdakwa menjadi langkah yang paling adil dan manusiawi. Sebab, keadilan sejati bukan sekadar menghukum, tetapi memastikan bahwa yang dihukum memang benar-benar bersalah.
Baca Juga: Hukum di Negara Lemah Hukum: Ketika Keadilan Tak Lagi Sama untuk Semua

Hukum di Negara Lemah Hukum: Ketika Keadilan Tak Lagi Sama untuk Semua
Negara Hukum… Tapi Lemah? Gimana Bisa?
Secara teori, semua negara modern mengklaim sebagai negara hukum di mana hukum berlaku sebagai pengatur kehidupan bermasyarakat dan alat kontrol kekuasaan. Tapi dalam praktiknya, banyak negara yang justru berada dalam slot via qris kategori “lemah hukum” atau rule of law failure. Artinya? Hukum hanya kuat di atas kertas. Penegakan hukum tidak adil, tumpul ke atas tajam ke bawah, dan proses hukum mudah dibeli atau diintervensi oleh kekuasaan.
Ciri-Ciri Negara Lemah Hukum
Ada beberapa indikator utama yang menunjukkan bahwa sebuah negara berada dalam kondisi krisis penegakan hukum:
1. Hukum Tajam ke Rakyat Kecil, Tumpul ke Elit
Kasus-kasus kecil seperti pencurian sandal bisa berujung penjara, sementara kasus korupsi miliaran rupiah bisa diselesaikan dengan vonis ringan atau bahkan hilang tanpa jejak.
2. Keadilan Bisa Dipesan
Ketika proses hukum bisa dibeli, maka pengacara bukan alat bantu kebenaran, tapi alat dagang kekuasaan. Mafia peradilan merajalela, dan hakim bisa “diatur” oleh intervensi politik atau uang.
3. Aparat Tidak Netral
Polisi dan jaksa tidak lagi berdiri untuk rakyat, tapi justru menjadi alat kepentingan politik. Penangkapan bisa tebang pilih, tergantung siapa lawan siapa kawan.
4. Hukum Tergantung Siapa yang Terlibat
Orang berpengaruh bisa lolos dari jeratan hukum, sementara rakyat biasa dipaksa mengikuti prosedur rumit tanpa pendampingan. Keadilan kehilangan prinsip universalitas.
Dampak Langsung Lemahnya Sistem Hukum
Lemahnya hukum bukan cuma soal politik, tapi berdampak luas pada semua aspek kehidupan:
-
Investasi asing ragu masuk karena kepastian hukum tidak ada
-
Warga takut mengadu karena sering kali korban malah jadi tersangka
-
Tumbuhnya budaya main hakim sendiri karena masyarakat tidak percaya pada proses formal
-
Maraknya korupsi dan impunitas, karena tidak ada efek jera yang nyata
Lemahnya hukum membuat warga hidup dalam ketakutan dan ketidakpastian, serta membuka ruang suburnya radikalisme dan kriminalitas.
Kasus-Kasus Nyata: Bukti Nyata Negara Bisa Gagal Hukum
-
Seorang petani divonis karena membakar ladangnya, sementara perusahaan besar pembakar hutan bebas berkeliaran
-
Aktivis lingkungan dikriminalisasi karena membela tanah adat
-
Kasus korupsi besar ditunda bertahun-tahun karena “kesehatan mental” terdakwa
-
Pelaku kekerasan seksual dilindungi karena punya posisi atau koneksi politik
Ini bukan fiksi, tapi potret nyata yang sering terjadi di banyak negara berkembang—dan bahkan masih terus berlangsung di era digital.
Solusi? Tidak Mudah, Tapi Bukan Mustahil
Menguatkan negara hukum butuh reformasi menyeluruh:
-
Reformasi kelembagaan: aparat penegak hukum harus independen dan profesional
-
Transparansi peradilan: sidang terbuka dan hasil putusan bisa diakses publik
-
Peran media dan civil society: kontrol sosial melalui jurnalisme dan gerakan masyarakat
-
Pendidikan hukum masyarakat: warga harus tahu hak dan cara melawannya
Keadilan bukan hadiah dari negara, tapi hak rakyat yang harus terus diperjuangkan.
Kesimpulan: Lemahnya Hukum adalah Akar dari Segala Ketimpangan
BACA JUGA: Hukum Berzinah Menurut Agama Islam
Di negara yang lemah hukumnya, kepercayaan rakyat terhadap sistem runtuh. Hukum kehilangan wibawanya, dan aturan berubah menjadi alat kekuasaan. Tapi harapan tidak boleh padam. Selama masih ada warga yang bersuara, media yang berani mengungkap, dan masyarakat sipil yang menolak tunduk, hukum bisa kembali menjadi panglima.

Hukum Berzinah Menurut Agama Islam
Dalam agama Islam, berzinah adalah salah satu dosa besar yang sangat dilarang dan mendapat ancaman keras dari Allah SWT. Perzinahan berarti melakukan hubungan seksual di luar ikatan pernikahan yang sah, dan perbuatan ini sangat merusak moral serta tatanan sosial umat manusia. Oleh karena itu, Islam menetapkan hukum yang tegas dan jelas terkait dengan perzinahan agar umatnya menjaga kesucian dan kehormatan diri.
Al-Qur’an secara tegas mengharamkan zina dan bahkan melarang mendekati perbuatan tersebut. Dalam Surah Al-Isra ayat 32, Allah berfirman, “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” Larangan ini menegaskan bahwa umat Islam tidak hanya harus menghindari perzinahan secara langsung, tetapi juga segala sesuatu yang dapat menuntun kepada dosa tersebut.
Hukum berzinah dalam Islam sangat jelas, terutama bagi yang sudah menikah maupun yang belum. Bagi yang belum menikah dan berzinah, hukumannya adalah cambukan sebanyak 100 kali, sebagaimana ditegaskan dalam Surah An-Nur ayat 2: “Perempuan dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.” Namun, jika pelaku zina sudah menikah, hukumannya jauh lebih berat, yakni rajam sampai mati, sebagaimana ditegaskan dalam hadis shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
Penerapan hukuman ini dalam kehidupan nyata slot depo 10k bertujuan untuk menjaga kesucian keluarga dan masyarakat dari kerusakan moral yang ditimbulkan oleh perzinahan. Islam sangat menekankan pentingnya menjaga kehormatan diri dan keluarga serta memelihara keturunan yang sah.
Namun, untuk menerapkan hukuman tersebut, Islam menetapkan syarat-syarat yang sangat ketat. Bukti yang diperlukan harus sangat jelas dan pasti, seperti pengakuan dari pelaku zina sendiri sebanyak empat kali atau adanya saksi empat orang yang menyaksikan langsung perbuatan tersebut. Hal ini untuk menghindari kesalahan dan memastikan keadilan bagi semua pihak.
Selain hukuman dunia, pelaku zina juga akan menghadapi siksaan yang berat di akhirat. Dosa besar ini membawa dampak negatif tidak hanya pada diri pelaku, tetapi juga pada masyarakat luas. Islam mengajarkan agar setiap individu menjaga diri dari godaan dan berusaha hidup sesuai dengan aturan Allah SWT agar terhindar dari dosa besar seperti zina.
Selain itu, Islam memberikan solusi pencegahan agar umatnya tidak terjerumus ke dalam perzinahan, seperti menikah bagi yang mampu, menjauhi pergaulan bebas, dan meningkatkan kesadaran moral serta keimanan. Dengan cara ini, diharapkan terjaga keharmonisan keluarga dan kehidupan sosial yang sehat.
Kesimpulannya, hukum berzinah dalam Islam adalah haram dan mendapat hukuman yang berat baik di dunia maupun di akhirat. Larangan ini bertujuan untuk menjaga kesucian, kehormatan, dan tatanan sosial umat manusia. Oleh karena itu, setiap Muslim dianjurkan untuk menjauhi perzinahan dan menjaga diri agar tetap berada di jalan yang diridhai Allah SWT.
BACA JUGA: Pengertian Hukum Menurut Para Ahli: Memahami Esensi dan Fungsinya dalam Masyarakat